Senin, 08 September 2008

Karst Bukan Bahan Baku Semen

Majalah "Gapura" 2 September 2008

Oleh: Effnu Subiyanto
Mahasiswa MM UGM Jogjakarta,
peserta forum ISKF #1 Yogyakarta

Satu hal yang tidak bisa dijawab oleh peneliti karst ketika penulis menanyakan keterkaitan hasil penelitian dengan kemungkinan strategi kelangsungan ekonomi negara adalah soal partisipasi bisnis. Peneliti muda karst dalam forum Indonesian Scientific Karst Forum (ISKF) Jogjakarta 19-21 Agustus boleh dikatakan berbakat karena tidak banyak peneliti yang memfokuskan soal karst di Indonesia, namun kajiannya harus lebih komprehensif seperti misalnya apa mitigasi peneliti ke depan ketika persoalannya dihadapkan kepada perkembangan bisnis berhubungan dengan karst yang bergerak dengan dinamis.

Disinilah kekurangan para peneliti ISKF karena tidak memberikan rekomendasi alternatif dua arah secara berimbang dari sudut pandang peneliti dan kalangan bisnis sehingga mengurangi bobot penelitian. Betapapun karena forum ISKF Jogjakarta baru digelar pertama kali, diikuti hanya 35 peneliti individual dan tidak seluruhnya membahas soal karst, maka forum berikutnya pada 2010 harapannya lebih baik.

Karst sebetulnya tidak dipakai sebagai bahan baku utama pembuatan semen, yang ditambang oleh pabrikan semen adalah dari jenis batu gamping atau jika dikatakan karst berasal dari jenis karst klasifikasi tiga. Dalam hal komitmen terhadap pelestarian karst, BUMN Semen Gresik (PTSG) sama-sama teguh memegang prinsip. Bisa dibuktikan bagaimana pengelolaan lingkungan PTSG terhadap kawasan kapur di pabrik Tuban.

Reklamasi bekas kawasan penambangan dilakukan dengan intensif sehingga menjadi hutan kembali, seperti di kawasan green-belt Temandang, Kerek dan Koro. Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena naiknya air tanah bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar dan sepenuhnya dibantu oleh dana CSR PTSG.

Kontribusi Pabrik Semen
Dari sisi pabrikan, ekspansi pabrik semen nasional sangat dibutuhkan dengan catatan tetap mendukung kelestarian alam dan ekosistem. Dibutuhkan volume semen yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 6,2 persen pada tahun 2009 dan lebih besar lagi pada tahun sesudahnya. Sebagai ilustrasi mega proyek Jembatan Surabaya-Madura 5,4 km membutuhkan semen 2,1 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan kapasitas satu pabrik PTSG, dan tentu saja berdampak terhadap kekurangan semen yang berkonsekuensi kenaikan harga, karena kapasitas pabrik yang semula untuk memenuhi permintaan pasar menjadi berkurang.

Negara juga membutuhkan semen karena diperlukan untuk mendukung mega proyek lainnya seperti Jembatan Jawa Sumatera (JJS) panjang 29 km untuk mengurai kemacetan transportasi setiap tahun di Merak-Bakeuhuni. Proyek senilai USD 10 miliar (dan pasti dieskalasi lebih besar lagi) ini akan dimulai 2013, dan ini sudah diperhitungkan pemerintah karena menunggu pabrik semen nasional benar-benar siap.

Pemerintah juga memerlukan semen untuk proyek infrastruktur seperti jalan tol yang hingga kini belum direalisasi. Rencana besar seperti membangun jalan tol trans Jawa 1.200 km, trans Sumatera akan semakin mahal dengan kapasitas pabrik semen yang defisit. Diperkirakan belanja infrastruktur pemerintah akan mencapai Rp 180 triliun tahun ini dan akan semakin tinggi tahun mendatang. Dana ini akan menimbulkan multiplier-effect yang besar di tingkat masyarakat karena akan mengurangi pengangguran terbuka mencapai 9,4 juta orang sekarang.

Padahal sekarang pemerintah juga disibukkan dengan pembangunan mega proyek PLN 10 ribu MW. PLTU yang sudah terealisasi adalah PLTU Labuhan, PLTU Indramayu dan PLTU Rembang, konstruksi yang dikerjakan sekarang akan juga menyedot semen. Dari kalangan pabrikan semen yang juga komponen bangsa, merasa bertanggung-jawab terhadap ketersediaan semen untuk kepentingan nasional. Ini menunjukkan antara sisi pemerintah dan kalangan pabrik semen memiliki network dan bukan perencanaan strategi parsial.

Dengan impor semen memang bisa memenuhi pasar dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang akan menguras kantong devisa. Untuk setiap satu juta ton semen paling tidak dibutuhkan Rp 600 miliar harga FOB negara asal, kocek negara akan berkurang karena harus membayar ongkos kapal, pabean hingga transportasi darat. Bagi keuangan negara yang terus menerus defisit karena dampak kenaikan energi, maka kebijakan impor adalah keputusan yang tragis. Nah, bagi peneliti UGM, LIPI, ASC yang juga komponen bangsa, kacamata global harus ditambahkan agar tidak terjebak dalam miopi yang sempit.

Klasifikasi
Keputusan Menteri ESDM No. 1456K/40/MEM/2000 tentang tata cara pengelolaan karst, salah satu pasal menyebutkan tentang klasifikasi kawasan karst yang boleh ditambang dan tidak. Dengan demikian mengelola kawasan karst memang tidak harga mati dilarang, namun masih melihat potensi ekonomi untuk menyelamatkan karst itu sendiri dengan menggandeng pelaku bisnis.

Dengan adanya PTSG di Jawa Tengah maka akan terbuka peluang bagaimana menyelamatkan kawasan karst itu sendiri, karena PTSG memiliki resource melakukan riset dan membandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh pabrikan semen yang lebih maju di Eropa ketika mengelola lingkungannya.

Konflik karst adalah pelajaran berharga bagi PTSG, peneliti karst dan masyarakat pada umumnya. Semoga saja hasil penelitiannya benar-benar murni science dan tidak memiliki motif tertentu, seperti komitmen PTSG selama ini terhadap lingkungan. Sekarang mari bersama-sama menunggu klasifikasi karst kawasan Sukolilo oleh Pusat Lingkungan dan Geologi Bandung, dengan harapan betul-betul dihasilkan opini yang jernih.®

Pembangunan PLTN Belum Mendesak

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id10794.html
Bisnis Indonesia, Rabu 20 Juni 2007


Polemik pembangunan PLTN kembali muncul setelah tertidur tiga dekade lamanya. Namun sejauh ini kontroversi penggunaan nuklir untuk listrik masih terjaga hingga kini. Para pecinta lingkungan, LSM, akademisi dan warga yang akan ketempatan PLTN tentu was-was dengan dampak nuklir ini.

Di sisi lain, pendukung PLTN yang terdiri para ilmuwan nuklir dan industri nuklir tentu saja tidak akan melewatkan kehilangan Rp76 triliun budget yang disediakan pemerintah untuk PLTN Semenanjung Muria ini.

Keterbatasan energi listrik memang mengkhawatirkan beberapa tahun ke depan. Diperkirakan Indonesia memerlukan hingga 100 GWe (gigawatt electric) sampai dengan 2015, sementara kapasitas produksi nasional hanya mampu memenuhi 33 Gwe. Karena itu pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5/2006 tentang kebijakan energi nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 dan 72 tahun 2006 tentang percepatan pembangunan mega proyek PLTU 10.000 MW (megawatt). Pemerintah juga menciptakan cetak biru energi nasional dalam Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2006-2015.

Krisis batubara

Rencana mega proyek 10.000 MW PLTU sendiri sebetulnya menyimpan kepesimisan di tingkat sinergi kebijakan dengan aspek lainnya. Persoalan pasokan batubara yang menjadi bahan bakar utama PLTU, tidak cukup matang direncanakan dalam grand design strategi nasional.

Produksi batubara lima tahun terakhir ini dieksploitasi besar-besaran untuk memenuhi pasar ekspor. Tawaran harga US$ 82 per ton benar-benar menggiurkan bagi 523 perusahaan penambang nasional sehingga membiarkan industri dalam negeri menjerit kekurangan pasokan. Sementara itu pungutan ekspor lima persen sejak November 2006 rupanya tidak cukup kuat melakukan kontrol batubara.

Jaminan deposit batubara nasional sebetulnya sangat cukup untuk menopang produksi 10.000 MW bahkan lebih. Cadangan batubara saat ini diperkirakan masih mampu bertahan hingga 150 tahun ke depan. Produksi penambangan batubara 2007 ini diperkirakan akan mencapai 205 juta ton, padahal kebutuhan dalam negeri masih sekitar 60 juta ton terbanyak dipakai sektor listrik, atau 68% produk nasional, sisanya dilempar ke pasar ekspor.

RUPTL seharusnya secara strategis sudah meng-cover kemungkinan krisis batubara ke depan dengan semakin memperketat perdagangan produk ini ke luar negeri.

China, Amerika dan Australia yang merupakan produsen batubara terbesar hanya mengizinkan ekspor maksimal 10 persen produk nasional. Mereka lebih memilih melindungi kepentingan untuk pemakaian domestik dan mencegah ketergantungan impor dengan menghemat eksplorasi tambang milik sendiri. Harus diakui bahwa implementasi sinergi mereka lebih terintegrasi dibandingkan dengan garis kebijakan pemerintah Indonesia.

Uranium-235 yang menjadi bahan baku PLTN sebetulnya lebih parah krisisnya dibandingkan dengan batubara. Dari riset MIT (Massachussets Institute of Technology) dan World Nuclear Association 2006, dengan konsumsi uranium 64 kilo ton per tahun dan pertumbuhan energi listrik 2,5% maka uranium-235 akan habis pada 30 tahun ke depan.

Jika bahan uranium-235 telah habis, ada dua skenario yang ditawarkan agar PLTN tetap beroperasi. Pertama dengan reprosesing uranium-235 bekas menjadi plutonium, dan ini menjadikan negara kita amat tergantung dengan negara lain, karena teknologi reprosesing demikian tinggi dan amat mahal. Di samping itu bahan plutonium adalah bahan proliferasi untuk membuat senjata nuklir, sekali lagi Indonesia akan berada dalam pengawasan IAEA (International Atomic Energy Agency), sebagaima-na sekarang mengawasi Iran.

Skenario ke dua yang tidak dire-komendasikan adalah dengan menggunakan teknologi fast breeder reactor (FBR), karena masih dalam bentuk prototipe ukuran laboratorium. Baru Rusia yang bisa mengoperasikan teknologi FBR, itu pun dilaporkan masih sering terjadi kecelakaan.
PLTN yang direncanakan dibangun di Semenanjung Muria Jepara pada 2010 (procurement dimulai 2008), operasional 2016, sebetulnya tidak bisa dikategorikan dengan crash program kalau melihat infrastruktur yang dimiliki PLN saat ini.

Tercatat PLN masih memiliki 18 generator dual firing PLTGU yang belum dioperasikan maksimal. Letak ketidakefisienan generator ini adalah pemakaian BBM solar dan HSD (high speed diesel), dengan konversi energi seperti gas, PLN sebenarnya memiliki peluang menghemat biaya operasional hingga Rp 23,3 triliun per tahun.

Di samping itu pembangunan PLTN yang mencapai enam tahun sejak konstruksi awal tentu tidak bisa dibandingkan dengan pembangunan PLTU. Pola operasional PLTN juga lebih mirip mekanisme ladang berpindah, jika sudah sampai pada satu cycle yakni kubah confinement sudah jenuh oleh radioaktif, maka operasional PLTN berakhir. Satu cycle itu sekitar 30 tahun dan PLTN harus dibangun di tempat lain, padahal lahan bekas PLTN tidak bisa dimanfaatkan manusia hingga berabad-abad lamanya.

Energi alternatif

Negeri ini banyak memiliki sumber daya alam yang masih melimpah. Energi angin, sinar matahari, panas bumi dan gelombang laut belum pernah disentuh. Padahal, jika dimanfaatkan secara maksimal, di samping akan menjaga kelestarian alam, deposit sumber daya alam yang seka-rang masih disimpan di perut bumi bisa diwariskan untuk generasi mendatang.
Keunggulan PLTN menurut Menristek Kusmayanto Kadiman hanyalah pada sisi ekonomi, sementara aspek sosial, jaminan keselamatan dan ketergantungan dengan teknologi yang belum kita kuasai luput dipertimbangkan.

Murahnya biaya perawatan dan operasional PLTN sehingga mengakibatkan harga jual listrik PLTN dengan PLTG selisih US$ 0,4 sebetulnya tidak signifikan dibandingkan risiko yang akan dihadapi rakyat Indonesia.

Kasus meledaknya reaktor nuklir Chernobyl Rusia pada April 1986 adalah bayaran konkrit selisih harga jual listrik yang disebut ekonomis dibandingkan dengan generator konvensional. Tidak kurang dari 31 penduduk sekitar reaktor jenis BWR (Boiling Water Reactor) Chernobyl menjadi korban tewas, sementara ratusan luka parah, anak-anak terlahir dengan cacat bawaan sementara lahan masih terkontaminasi limbah radioaktif.

PLTN, jika seperti ini bukan ekonomis lagi, namun menjadi malapetaka peradaban manusia. Pemerintah sebaiknya berpikir ulang untuk membangun PLTN di Indonesia.

Oleh Effnu Subiyanto
Mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogyakarta

Darurat Listrik, "Teror" PLN

http://www.kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.kompascetak.xml.2008.02.25.0120488&channel=2&mn=11&idx=11
diakses 25 Februari 2008, dari Kompas

Effnu Subiyanto
Mahasiswa Magister Manajemen UGM Jogjakarta

“Teror” psikologi PLN tampaknya belum akan reda. Karena alasan gelombang laut yang tinggi, kapal-kapal pengangkut batubara tidak bisa merapat, maka seluruh jaringan interkoneksi Jawa-Bali dinyatakan dalam kondisi darurat. Defisit daya listrik saat beban puncak sudah 1.000 MW, padahal yang berhasil diproduksi PLN hanya 15 ribu MW dari kebutuhan 16 ribu MW. Jika defisit berlanjut hingga 1.500 MW, pemerintah akan menerapkan status darurat nasional listrik diikuti dengan pemadaman bergilir mulai Kamis (21/2/2008).

Pada awal Desember 2007, PLN juga sudah mengeluarkan red notice berkaitan dengan meningkatnya konsumsi listrik DKI sebesar 300 MW. PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tg Priok tidak mampu mengatasi kenaikan beban dan terancam overload. Mendekati akhir 2007, PLTU Tg Jati B berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan batubara. Direktur Pembangkitan dan Energi Primer, Ali Herman Ibrahim, dicopot dari jabatannya sejak 3 Januari dan permanen dalam RUPSLB 8 Januari 2008.

Warning berkali-kali yang dikeluarkan PLN mengagetkan semua pihak. Karena sebagai penyedia tunggal energi listrik, tidak memiliki kompetitor, mengusung kebijakan PSO, PLN diharapkan memberikan pelayanan terbaik kepada bangsa.

Powerful-nya PLN bahkan membuat APBN bertekuk lutut dengan menggelontor subsidi Rp 42 triliun dari rencana Rp 29,8 triliun tahun ini, sebagai perbandingan anggaran TNI untuk pertahanan hanya Rp 36,4 triliun.

Namun PLN ternyata menciderai kepercayaan rakyat, amanah itu tidak diemban penuh tanggung-jawab. Kelengahan antisipasi PLN menghadapi perubahan iklim menjadi titik utama masalah ini. Menandakan bahwa selama dekade ini, PLN tidak mengevaluasi business plan menghadapi hal-hal force majeur. Implementasi manajemen resiko sama sekali tidak dijalankan karena mengandalkan captive market 50 juta pelanggan tanpa bersusah-payah. PLN dinina-bobokkan dengan subsidi, regulasi dan PSO. Kendati selalu merugi (Rp 1,3 triliun tahun 2007) publik segan mempertanyakan, bahkan eksekutif dibagikan tantiem sebagai bonus tanpa introspeksi.

Rasio Elektrifikasi

Energi listrik diyakini memiliki daya dukung fundamental terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari statistik, negara dengan konsumsi tinggi terhadap listrik adalah negara berekonomi kuat. Malaysia misalnya, konsumsi listriknya 600 watt/orang, Jepang mencapai 1.874 watt/orang. Indonesia dengan rasio elektrifikasi 61%, hanya mampu mengonsumsi listrik 108 watt/orang. Menariknya ketika konsumsi listrik akan bergerak naik, justru PLN tidak mampu mengimbanginya.

Darurat listrik adalah pukulan telak PLN, karena sekarang ini memiliki mega proyek 10 ribu MW berbahan bakar utama batubara. Tahun 2010, PLN harus mengoperasikan 39 PLTU baru yang akan mengonsumsi batubara 50 juta ton/tahun. Jumlah ini luar biasa karena dalam sebulan minimal 4 juta ton batubara datang, dengan menggunakan tongkang ukuran 10 ribu ton maka akan hilir mudik 400 kapal, dan dalam sehari akan merapat 13 kapal. Kompleksitasnya akan rumit, dan harus sudah dipersiapkan secepatnya, kelangkaan batubara sekarang adalah test-case sederhana.

PLTN

Berulangnya krisis batubara mewacanakan pembangunan PLTN sebagai solusi. PLTN memang tidak memerlukan batubara, namun uranium dan jumlahnya tidak berkapal-kapal seperti batubara. Boleh jadi kelangkaan batubara berkorelasi dengan rencana pendirian PLTN untuk mendapatkan legitimasi..

Padahal bahan uranium-235 juga memiliki level resiko tidak kalah tinggi belum radiasinya. Riset MIT (Massachussets Institute of Technology) dan World Nuclear Association 2006, PLTN seluruh dunia saat ini mengonsumsi uranium-235 mencapai 64 ribu ton per tahun.

Baru-baru ini produsen uranium-235 terbesar dunia yakni Australia dan Kazakhstan mulai menaikkan harga 74,4% karena tingginya permintaan. Data yang dirilis Tullet Prebon Pk, uranium-235 semula USD 78/pound di pasar internasional kini bertengger USD 136/pound. Dengan mengoperasikan PLTN biaya operasional PLN akan jauh lebih mahal dibandingkan PLTU. Padahal di sisi lain menurut riset tersebut, bahan uranium-235 juga akan habis 30 tahun ke depan meski pertumbuhan konsumsi listrik 2,5% per tahun.

Yang perlu diperhatikan dari kejadian darurat listrik ini adalah akar permasalahan, PLN sebaiknya memperluas kapasitas penyimpanan batubara. Jika hari-hari normal kapasitas penyimpanan 1-1,5 bulan operasi, menghadapi musim badai laut tidak ada salahnya meningkatkan stok batubara untuk empat bulan operasi. Semoga menjadi pelajaran.


۞۞۞

Misteri Subsidi BBM RAPBN 2009

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=20422
diakses 27 Agustus 2008, dari Jawa Pos

Oleh Effnu Subiyanto*

Persoalan BBM tetap saja menjadi mimpi buruk anggaran nasional. Kembali pada RAPBN 2009, pemerintah harus menganggarkan Rp 101,4 triliun untuk subsidi BBM. Jumlah tersebut tidak termasuk untuk subsidi kepada PLN sebesar Rp 60,4 triliun. Dengan demikian khusus untuk mendanai cairan energi yang akan dibakar habis dalam setahun, dibutuhkan Rp 161,8 triliun.

Simpang siur besaran subsidi BBM ini akan terus berlanjut, benarkah senilai tersebut atau harga tersebut diolah terlebih dulu. Rakyat pada umumnya tidak mengetahui dari mana asal hitung-hitungannya, sepanjang BBM lancar tidak pernah habis pada SPBU, rakyat sudah cukup senang.

Konon kekurangan BBM disebut-sebut 579 ribu barel per hari. Terdiri dari 369 ribu barel minyak mentah dan 210 ribu barel per hari dalam bentuk BBM. Hitungan rata-rata dengan asumsi harga minyak USD 120 per barel dan kurs Rp 9.100 per USD, maka dalam setahun pemerintah harus menyediakan anggaran Rp 230,8 triliun. Jumlah ini jika rakyat mendapatkan BBM dengan gratis atau 100 persen disubsidi pemerintah

Hitung-hitungan harga internasional premium dengan patokan di pasar Amerika Serikat yang sekarang mencapai USD 4,06 per gallon dibanding harga premium Indonesia Rp 6.000 per liter, maka pemerintah Indonesia menanggung beban subsidi hingga Rp 3.985 per liter. Dengan demikian pemerintah Indonesia memberikan subsidi kepada rakyatnya sebesar 66,4 persen per liternya. Sehingga dari total kebutuhan BBM per tahun Rp 230,8 triliun, kendati hampir separuhnya dibayari rakyat, pemerintah masih memberikan partisipasi Rp 153,3 triliun. Pertanyaan pertama mengapa anggaran subsidi pada RAPBN 2009 mencapai Rp 161,8 triliun?

Kalkulasi kedua, pemerintah di sisi lain juga menyatakan bahwa konsumsi BBM pada tahun 2009 akan mencapai 38,9 juta kiloliter. PLN juga menyatakan bahwa kebutuhannya pada tahun 2009 adalah sebesar 10,1 juta kiloliter. Jadi total kebutuhan BBM Indonesia pada tahun 2009 adalah 49 juta kiloliter. Khusus jumlah BBM yang dikonsumsi PLN akan berpeluang turun karena bahan energi gas sudah masuk ke PLTGU Muara Tawar Agustus ini, dan PLTU Labuhan berbahan bakar batu bara beroperasi pada triwulan pertama tahun 2009.

Produksi minyak mentah Indonesia disebut-sebut 910 ribu barel per hari, dalam setahun jika dikonversi ke liter, maka volume minyak mentah setara dengan 38,9 juta kiloliter. Dengan demikian kekurangan BBM Indonesia yang harus diimpor hanya sekitar 10 juta kiloliter.

Taruhlah misalnya dipakai asumsi harga BBM yang paling tinggi yakni harga BBM diesel asal AS yang kini USD 4,7 per gallon, maka pemerintah harus mengimpor kekurangan BBM Rp 116 triliun. Karena pemerintah hanya memberikan subsidi rata-rata 66,4 persen, maka partisipasi RAPBN 2009 sejatinya Rp 77 triliun. Biaya ini akan turun karena bahan yang diimpor tidak seluruhnya solar, namun terdiri dari premium dan minyak tanah. Pertanyaan berikutnya kenapa RAPBN 2009 memberikan asumsi subsidi BBM Rp 161,8 triliun?

Pandangan saya, tesis yang pertama memiliki bobot ketidak-pastian dibandingkan dengan tesis kedua, karena jika data-data tersebut digabungkan timbul selisih yang besar. Kekurangan jumlah BBM yang harus diimpor sebesar 10 juta kiloliter, jika dikonversi ke dalam minyak mentah hanya sebesar 234 ribu barel per hari. Untuk mengimpor sejumlah ini maka diperlukan dana minimal Rp 93,4 triliun dalam setahun dengan asumsi harga minyak USD 120 per barel.

Perhitungan tesis kedua lebih mendekati kebenaran kendati juga menimbulkan pertanyaan tersendiri. Konsumsi BBM 2008 diperkirakan 35,5 juta kiloliter dan estimasi akan menjadi 38,9 juta kiloliter pada tahun 2009. Pertumbuhan kendaraan baru jenis sepeda motor rata-rata dalam setahun naik 4,5 juta sementara jenis mobil mengalami kenaikan rata-rata 500 ribu per tahun. Dengan konsumsi satu liter per hari, maka penambahan BBM akan 1,8 juta kiloliter. Rasanya tidak mungkin kendaraan jenis mobil akan mengonsumsi premium satu liter per hari, sehingga kenaikan konsumsi BBM 3,4 juta kiloliter adalah perhitungan yang naïf. Pemerintah sekali lagi harus berhati-hati dalam melakukan kalkulasi subsidi BBM, karena keuangan negara yang defisit setiap tahun telah menjadi terror tersendiri bagi rakyat.

Misteri Migas
Keanehan perhitungan subsidi BBM ini menyiratkan ada yang tidak beres dengan pengelolaan penambangan migas di Indonesia. Ada data-data yang sengaja tidak dikeluarkan dengan motif tertentu. Jika pemerintah benar telah mengeluarkan banyak biaya hingga Rp 161,8 triliun namun faktanya yang benar-benar dinikmati rakyat sebagai subsidi hanya Rp 77 triliun hingga Rp 93,4 triliun, lalu kemana dana sisanya?

Misteri pengelolaan migas Indonesia mengingatkan pada kasus cost recovery yang hingga kini tetap belum terpecahkan. Total dana bantuan pemerintah terhadap penambang migas KKKS tahun 2007 mencapai USD 8,3 miliar atau Rp 75,04 triliun. “Bantuan” ini selalu mengalami trend naik karena pada tahun 2006 masih USD 7,8 miliar, 2005 (USD 7,4 miliar), 2004 (USD 7,1 miliar) dan tahun 2003 (USD 5,2 miliar).

Sektor migas Indonesia juga tidak signifikan dalam membantu penerimaan pajak. Sumbangan pajak PPh migas 2007 masih Rp 44 triliun, masih kalah jauh dibandingkan dengan PPh non migas Rp 194,7 triliun. Padahal sektor migas menikmati begitu banyak fasilitas misalnya bebas bea masuk dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 177, Nomor 179, dan PPn yang ditanggung pemerintah seperti dalam Peraturan Menkeu Nomor 178.

*) Effnu Subiyanto, mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogyakarta.

Si Akmal sedang bengong