Senin, 08 September 2008

Karst Bukan Bahan Baku Semen

Majalah "Gapura" 2 September 2008

Oleh: Effnu Subiyanto
Mahasiswa MM UGM Jogjakarta,
peserta forum ISKF #1 Yogyakarta

Satu hal yang tidak bisa dijawab oleh peneliti karst ketika penulis menanyakan keterkaitan hasil penelitian dengan kemungkinan strategi kelangsungan ekonomi negara adalah soal partisipasi bisnis. Peneliti muda karst dalam forum Indonesian Scientific Karst Forum (ISKF) Jogjakarta 19-21 Agustus boleh dikatakan berbakat karena tidak banyak peneliti yang memfokuskan soal karst di Indonesia, namun kajiannya harus lebih komprehensif seperti misalnya apa mitigasi peneliti ke depan ketika persoalannya dihadapkan kepada perkembangan bisnis berhubungan dengan karst yang bergerak dengan dinamis.

Disinilah kekurangan para peneliti ISKF karena tidak memberikan rekomendasi alternatif dua arah secara berimbang dari sudut pandang peneliti dan kalangan bisnis sehingga mengurangi bobot penelitian. Betapapun karena forum ISKF Jogjakarta baru digelar pertama kali, diikuti hanya 35 peneliti individual dan tidak seluruhnya membahas soal karst, maka forum berikutnya pada 2010 harapannya lebih baik.

Karst sebetulnya tidak dipakai sebagai bahan baku utama pembuatan semen, yang ditambang oleh pabrikan semen adalah dari jenis batu gamping atau jika dikatakan karst berasal dari jenis karst klasifikasi tiga. Dalam hal komitmen terhadap pelestarian karst, BUMN Semen Gresik (PTSG) sama-sama teguh memegang prinsip. Bisa dibuktikan bagaimana pengelolaan lingkungan PTSG terhadap kawasan kapur di pabrik Tuban.

Reklamasi bekas kawasan penambangan dilakukan dengan intensif sehingga menjadi hutan kembali, seperti di kawasan green-belt Temandang, Kerek dan Koro. Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena naiknya air tanah bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar dan sepenuhnya dibantu oleh dana CSR PTSG.

Kontribusi Pabrik Semen
Dari sisi pabrikan, ekspansi pabrik semen nasional sangat dibutuhkan dengan catatan tetap mendukung kelestarian alam dan ekosistem. Dibutuhkan volume semen yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 6,2 persen pada tahun 2009 dan lebih besar lagi pada tahun sesudahnya. Sebagai ilustrasi mega proyek Jembatan Surabaya-Madura 5,4 km membutuhkan semen 2,1 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan kapasitas satu pabrik PTSG, dan tentu saja berdampak terhadap kekurangan semen yang berkonsekuensi kenaikan harga, karena kapasitas pabrik yang semula untuk memenuhi permintaan pasar menjadi berkurang.

Negara juga membutuhkan semen karena diperlukan untuk mendukung mega proyek lainnya seperti Jembatan Jawa Sumatera (JJS) panjang 29 km untuk mengurai kemacetan transportasi setiap tahun di Merak-Bakeuhuni. Proyek senilai USD 10 miliar (dan pasti dieskalasi lebih besar lagi) ini akan dimulai 2013, dan ini sudah diperhitungkan pemerintah karena menunggu pabrik semen nasional benar-benar siap.

Pemerintah juga memerlukan semen untuk proyek infrastruktur seperti jalan tol yang hingga kini belum direalisasi. Rencana besar seperti membangun jalan tol trans Jawa 1.200 km, trans Sumatera akan semakin mahal dengan kapasitas pabrik semen yang defisit. Diperkirakan belanja infrastruktur pemerintah akan mencapai Rp 180 triliun tahun ini dan akan semakin tinggi tahun mendatang. Dana ini akan menimbulkan multiplier-effect yang besar di tingkat masyarakat karena akan mengurangi pengangguran terbuka mencapai 9,4 juta orang sekarang.

Padahal sekarang pemerintah juga disibukkan dengan pembangunan mega proyek PLN 10 ribu MW. PLTU yang sudah terealisasi adalah PLTU Labuhan, PLTU Indramayu dan PLTU Rembang, konstruksi yang dikerjakan sekarang akan juga menyedot semen. Dari kalangan pabrikan semen yang juga komponen bangsa, merasa bertanggung-jawab terhadap ketersediaan semen untuk kepentingan nasional. Ini menunjukkan antara sisi pemerintah dan kalangan pabrik semen memiliki network dan bukan perencanaan strategi parsial.

Dengan impor semen memang bisa memenuhi pasar dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang akan menguras kantong devisa. Untuk setiap satu juta ton semen paling tidak dibutuhkan Rp 600 miliar harga FOB negara asal, kocek negara akan berkurang karena harus membayar ongkos kapal, pabean hingga transportasi darat. Bagi keuangan negara yang terus menerus defisit karena dampak kenaikan energi, maka kebijakan impor adalah keputusan yang tragis. Nah, bagi peneliti UGM, LIPI, ASC yang juga komponen bangsa, kacamata global harus ditambahkan agar tidak terjebak dalam miopi yang sempit.

Klasifikasi
Keputusan Menteri ESDM No. 1456K/40/MEM/2000 tentang tata cara pengelolaan karst, salah satu pasal menyebutkan tentang klasifikasi kawasan karst yang boleh ditambang dan tidak. Dengan demikian mengelola kawasan karst memang tidak harga mati dilarang, namun masih melihat potensi ekonomi untuk menyelamatkan karst itu sendiri dengan menggandeng pelaku bisnis.

Dengan adanya PTSG di Jawa Tengah maka akan terbuka peluang bagaimana menyelamatkan kawasan karst itu sendiri, karena PTSG memiliki resource melakukan riset dan membandingkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh pabrikan semen yang lebih maju di Eropa ketika mengelola lingkungannya.

Konflik karst adalah pelajaran berharga bagi PTSG, peneliti karst dan masyarakat pada umumnya. Semoga saja hasil penelitiannya benar-benar murni science dan tidak memiliki motif tertentu, seperti komitmen PTSG selama ini terhadap lingkungan. Sekarang mari bersama-sama menunggu klasifikasi karst kawasan Sukolilo oleh Pusat Lingkungan dan Geologi Bandung, dengan harapan betul-betul dihasilkan opini yang jernih.®

6 komentar:

Anonim mengatakan...

Seharusnya Judulnya diubah menjadi : Bahan Baku Semen Tidak Harus Karst"

Tulisan diatas berusaha membelokkan fokus masalah yang ada. Dengan membebankan kepada para peneliti Karst (yd diIndonesia baru seumur Jagung) untuk mencari bahan alternatif bahan Baku.

Kalau berusaha mencari celah dengan berlindung pada KepMen ESDM No.1456K/40/MEM/2000 tentang Klasifikasi, harus diingat kalangan pebisnis bahwa tidak pernah ada penelitian yang dilakukan didaerah karst untuk menentukan klasifikasi dengan berorientasikan data bawah permukaan, karena pada rana ini tidak banyak orang yang bisa ataupun mau merambahnya. Kajian dibawah permukaan ini akan memerlukan waktu dan dana yang besar.. apa kaum pebisnis akan mampu dan mau untuk memfasilitasinya

Kayaknya tidak fair juga dengan membandingkan di Tuban yang sudah "lolos" AMDAL, yang mungkin waktu itu lolos dari pengamatan kaum pemerhati karst, karena aspek dampaknya tidak hanya dilingkungan "mati" tapi juga "hidup". Apa pernah dipantau habitat kelelawar didaerah itu sebelum AMDAL sampai sekarang.

Untuk msalah Pati... harus diingat disana ribuan orang bergantung hidupnya dari wilayah Karst ini, sebagai pensuplai air minum, irigasi, dan kebutuhan air lainnya. Juga disitu ada komunitas budaya "Sedulur Sikep", yang historisnya ada jauh sebelum republik ini terbentuk.

Jadi pengesahan suatu tujuan harusnya dilakukan dengan baik, "Karena tidak ada artinya tujuan baik yang dilakukan dengan cara yang tidak baik"

Salam

banaspati mengatakan...

Bilang Tidak Untuk pabrik Semen!

tulisan ini cuma menampilkan satu sisi yang muncul dari segi ekonomi dan investasi yang di inginkan pemodal (semen gresik) coba di lihat juga bagaimana klo kita bandingkan dengan adanya kurang lebih 149 buah mata air yang mempunyai debit yang cukup untuk menghidupi ribuan hektar dan persawahan yang ada. jangan coba menipu dengan mengatakan membuka lapangan kerja sekian ribu orang, kenyataannya ketika pabrik sudah beroperasi semua menggunakan tenaga mesin dan tenaga manusia sebagai operator hanya sekitar 500 orang ( ini ada di laporan KA ANDAL yang di keluarkan oleh konsultan AMDAL untuk SG) coba bandingkan klo ribuan hektar sawah hilang berapa banyak ribu pengangguran baru yang akan muncul.

coba anda lihat juga dari sisi kerusakan lingkungan, kehilangan air tanah, habitat satwa liar yang ada. klo anda ingin melihat dari sisi ekonomi seharusnya anda juga menghitung secara ekonomi berapa kerugian yang muncul dan coba bandingkan dengan keuntungan yang di dapat dari ada nya pabrik semen.. saya rasa anda tidak akan melkukan itu bukan...? sekali lagi anda sangat naif ketika mencoba memposisikan kondisi ekonimi bangsa dengan hadirnya pabrik semen SG, coba anda tunjukan juga posisi masyarakat yang ada di sukolilo..?

analisa anda sebagai seorang calon master sangat dangkal...anda memberikan asumsi agar para peneliti karst harus objektif sedangkan anda sendiri tidak melakukan itu...coba secara jujur tunjukan indentitas anda sebagai salah satu pegawainya semen gresik..! apakah anda objektif? atau anda yang mempunyai niat tertentu...? coba anda liat PP terbaru tentang tata ruang nasional yang ada, di situ sangat jelas bahwa kawasan kars masuk kedalam kawsan lindung, sehingga dengan adanya penetapan kawasan sukolilo menjadi kawasan kars sudah menunjukkan dengan sangat nyata bahwa kawasan kars sukolilo tidak boleh ada kegiatan penambangan.

cobalah anda sendiri melihat sesuatu secara jelas dan objektif......klo hati sudah beku minimal iman kepada Tuhan membuat anda tidak menjadi seorang yang buta terhadap kenyataan yang ada!

Anonim mengatakan...

Sepertinya harus duduk bersama antara pebisnis dan peniliti.

Masalahnya, pebisnis selalu beralasan dengan alasan ekonomis sementara peneliti menggunakan parameter yang berbeda.

Untuk itu, mari kita hitung berapa keutnungan ekonomi dan kerugian ekonomi semua aktifitas di karst.

salah satunya dengan ENVIRONMENTAL VALUATION...

monggo dilanjut:

please always come to : www.cavernicoles.wordpress.com

Anonim mengatakan...

Sepertinya Penulis "karst Bukan Bahan Baku Semen" perlu banyak membaca lagi agar bisa membedakan istilah karst dan batugamping.

Penulis seharusnya juga perlu menyempatkan diri melihat secara langsung di lapangan, apakah benar tindakan reklamasi dan penanganan dampak lingkungan benar-benar telah dilakukan PTSG dengan baik di Tuban. Jika iya, kenapa masyarakat yang hidup di ring I masih saja bermasalah dengan debu dari pabrik semen.

Mengenai hasil klasifikasi kawasan, saya yakin akan berbeda hasilnya jika yang membiayai klasifikasi itu bukan PTSG, terlalu berani mengkelas-kelaskan lahan karst hanya berdasarkan penafsiran data-data permukaan saja.

Saya sepakat, perlu duduk bareng untuk membahas perbedaaan pandangan tentang karst. Kenapa harus buru-buru menyelesaikan AMDAL dan lain sebagainya jika memang yakin benar apa yang telah dilakukan.

Kata Saefuddun Zuhri( kadiv humas SG) dalam sebuah pertemuan tertutup paska ISKF "cadangan semen masih cukup hingga 2012". Kenapa musti buru-buru?

Unknown mengatakan...

Ha..ha..ha... lucu sekali. Lelucon anda sangat berbobot.

Kalau boleh saran, bisa ikut audisi pelawak di TV mas

Unknown mengatakan...

karst bukan bahan semen, tapi kapur salah satu bahannya semen, untung dulu sekolahku dari papan triplek dan batu jadi tak pakai kapur atau semen, tapi bagaimana trotoar jalan pakai semen ha...ha...ha... kalau aku punya sayap terbang dong